Kamis, 24 Mei 2012

sejarah palembang


Sejarah Kota Palembang
Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1382 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.
Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:
  • Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan.
  • Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah.
  • Daerah pesisir timur laut.

Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat mementukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara
Sriwijaya, seperti juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat. (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara.
Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya sebagai berikut :Negara ini terletak di Laut selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah dipelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.
Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos tentang Sriwijaya. Pelaut-pelaut Cina asing seperti Cina, Arab dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat dan dengan. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, adalah bagaikan kota di Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka adalah kota yang sangat besar, dimana jika dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah ditanah kering diatas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama).Setelah mengalami kejayaan diabad-abad ke-7 dan 9, maka dikurun abad ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini, baik karena persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir kejatuhan ini tak terelakkan setelah bangkitnya bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia.





                                                                                                                   





Setelah merdeka, masyrakat seberang ulu dan seberang ilir jika hendak menyeberang. Mereka menggunakan transportasi air berupa perahu atau tongkang. Masyrakat Palembang lalu meminta kepada Presiden RI pertama, Ir Soekarno untuk membuat jembatan yang dapat memudahkan akses transportasi melakukan penyeberangan. Soekarno setuju. Pembangunan jembatan dimulai 16 September 1960 silam. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampas an perang Jepang yang ditaksir kala itu sekitar 2,5 miliar yen. Tenaga ahli juga didatangkan dari negeri matahari terbit tersebut. Semula bagian tengah badan Jembatan Ampera ini bisa diangkat bila ada kapal besar yang lewat di bawahnya. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan mengangkat hanya butuh 30 menit untuk mengangkat penuh jembatan. Namun kemampuan untuk angkat badan jembatan itu hanya bertahan sekitar 10 tahun. Sebab pada tahun 1970, bagian tengah jembatan ini sudah tidak dapat diangkat lagi karena arus lalu lintas sudah mulai ramai yang melewati jembatan itu. Kapal kecil yang memiliki ketinggian maksimal 9 m, masih dapat lewat di bawah jembatan kebanggan wong kito ini. Tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara ini diturunkan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
                Jembatan Ampera semula berwarna abu-abu. Kemudian sempat diubah warna kuning pada masa Orde Baru. Kemudian di masa kepemimpinan Wali Kota Eddy Santana Putra, warna jembatan itu itu dicat merah. Eddy Santana yang ingin menghidupkan wisata bahari Palembang. Menghiasi jembatan tersebut dengan lampu-lampu yang menarik. Alhasillandscape berlatar belakang Jembatan Ampera sangat indah dengan kerlap-kerlip cahaya lampu yang menawan. Ada juga orang yang berkomentar melihat Jembatan Ampera setelah dipoles, laksana melihat jembatan San Fransisco di malam hari. Mungkin perbandingan ini amat jauh namun sedikitnya wong Palembang, boleh bangga karena keindahan jembatan itu mulai menyedot perhatian. Obsesi Eddy Santana untuk menjadikan Jembatan Ampera sebagai ikonnya kota Palembang secara internasional berangsur-angsur sepertinya mulai terwujud. Televisi nasional mulai sering menggelar event nasional berlatar belakang jembatan tersebut.
                Jembatan Ampera atau orang-orang tua kadang menyebutnya ‘Proyek’ diresmikan Letjen Ahmad Yani, pada 30 September 1965. Ini merupakan kiprah terakhir Letjen Ahmad Yani di Sumsel karena besoknya beliau tewas dibunuh oleh Gerakan 30S-PKI. Mulanya jembatan ini dinamakan Jembatan Bung Karno. Pemberian nama ‘Bung Karno’ sebagai ungkapan terima kasih masyarakat Sumsel khususnya warga Palembang karena Presiden Soekarno telah mengabulkan permintaan masyarakat agar dibangunkan jembatan. Namun saat itu wibawa Bung Karno sedang merosot tajam apalagi pasca peristiwa penculikan tujuh jenderal dalam Gerakan 30S-PKI. Gerakan Anti-Soekarno, menyebar dimana-mana sehingga berakibat juga pergantian nama jembatan menjadi Jembatan Ampera yang merupakan singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat.
                Jembatan kebanggan wong Sumsel ini, sudah sering tertabrak kapal pembawa batu bara yang melintas di bawahnya. Selain memang sudah berumur ada benturan keras itu menyebabkan pergeseran sehingga diperlukan renovasi. Tahun 1981, pemerintah menghabiskan dana sekitar Rp. 850 juta dalam melakukan renovasi. Renovasi dilakukan setelah muncul kekhawatiran akan ancaman kerusakan Jembatan Ampera bisa membuat ambruk. Kekhawatiran ini cukup beralasan. Januari 2008 silam, sebuah tongkang pembawa batu bara menabrak jembatan ini hingga menyebabkan salah satu tiang fender patah. Seorang peramal asal Belanda, Mama Laurent juga pernah meramalkan pada tahun 2007 Jembatan Ampera akan ambruk jika tidak dilakukan renovasi. Memang ramalan itu tidak terbukti apalagi pemerintah menyikapinya dengan melakukan renovasi. Pemerintah Jepang juga pernah melakukan riset yang kesimpulannya menyatakan Jembatan Ampera masih tetap kokoh sampai 50 tahun lagi.
                Masih kuat dalam ingatan kita, pada era 1970 hingga 2000, suasana dibawah Jembatan Ampera sangat kumuh dan becek. Disana berkumpul mobil angkot tua antre menunggu penumpang, penjual buku dan majalah bekas, pedagang pakaian bahkan jika sore pedagang ikan juga menggelar dagangannya disana. Suara hiruk pikuk suara pedagang menjajakan barang dagangannya ditambah aroma tidak sedap dari tempat sampah yang tidak diangkat petugas kebersihan sehingga isinya sudah meluber dari tempat yang disediakan. Sekarang pemandangan itu tidak ada lagi. Pemerintah Kota Palembang terus menata sekitar Jembatan Ampera termasuk juga gedung-gedung pertokoan di Pasar 16 ilir, yang merupakan bangunan lama ditata apik. Catnya diperbarui, atap-atapnya juga dibuat dengan menonjolkan desain lama yang mengandung sejarah. Pada malam hari, di bawah Jembatan Ampera Seberang Ilir, banyak pedagang berjualan berbagai jenis kuliner murah meriah namun enak di lidah. Gebrakan Wali Kota Eddy Santana Putra dalam mewujudkan Wisata Bahari dengan ikon Jembatan Ampera dan BKB, sepatutnya mendapat acungan jempol. Di seberang ulu, Pemkot Palembang juga akan membangun plaza yang memungkinkan masyarakat dapat menikmati keindahan sungai yang merupakan urat nadi perdagangan internasional pada masa Kerajaan Sriwijaya. Pemerintah juga akan menjadikan Rumah Kapitan sebagai salah satu lokasi kunjungan wisata di Kota Palembang.
Di masa dia, pedagang kaki lima (PKL) dapat dipindahkan tanpa harus ada ketegangan yang berdampak anarkis. Sebagai warga Kota Palembang atau Sumsel, seharusnya kita ikut berpartisipasi mewujudkan Palembang sebagai kota wisata bahari dengan turut menjaga keamanan, keramahan serta kebersihan sehingga wisatawan baik domestik maupun mancanegara merasa nyaman dan aman berada di kota empek-empek ini. Bukankah jika banyak wisatawan akan berdampak meningkatnya perekonomian wilayah yang bersangkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar